Pembahasan Tentang Perilaku Menyimpang

I. Pengertian Perilaku Menyimpang Menurut arti bahasa yang termuat dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KLBI),  perilaku menyimpang diterjemahkan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang mengacu pada norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat. Perilaku seperti itu –penyimpangan perilaku atau perilaku menyimpang– terjadi karena seseorang telah mengabaikan norma, aturan, atau tidak mematuhi patokan baku, berupa produk hukum baik yang tersirat maupun tersurat dan berlaku di tengah masyarakat. Sehingga perilaku pelakunya sering disematkan dengan istilah-istilah negatif, yang notabene dianggap kontraproduktif dengan aturan yang sudah ditetapkan atau terdapat di dalam norma-norma maupun hukum Agama dan negara.
Pengertian masyarakat menurut para ahli adalah sebagai berikut:
  1. Menurut James Vander Zanden, perilaku menyimpang adalah:
Perilaku yang oleh sejumlah orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi. Ukuran perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik-buruk atau benar-salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran nilai dan norma sosial suatu masyarakat tertentu.
  1. Menurut  William Kornblum , perilaku menyimpang adalah:
Kelakuan atau tingkah laku yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
  1. Robert M.Z. Lawang, perilaku menyimpang adalah:
Semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu system sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang tersebut.
  1. Menurut Bruce J.Cohen, perilaku menyimpang adalah:
Perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat.
  1. Menurut J Paul B. Horton Perilaku menyimpang : setiap perilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat
Pengertian dari penyimpangan sosial: Bentuk Perilaku yang dilakukan oleh seseorang yang tidak sesuai dengan norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Menurut Alex Thio ada tiga factor yang berkaitan dengan penentuan hal yang di anggap sebagai perilaku menyimpang,yaitu:
1. Waktu: artinya perilaku menyimpang tersebut selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman atau selalu bervariasi antara periode satu dengan periode berikutnya.
Contoh: Pada era R.A Kartini, seorang wanita memakai celana tentu di anggap sebagai perilaku menyimpang, tetapi pada masa sekarang tindakan tersebut dianggap sebagai hal yang biasa dan lumrah.
2. Tempat artinya perilaku menyimpang tsb selalu berbeda – beda antara tempat atau daerah yang satu dengan daerah yg lain.
Contoh : kumpul kebo bagi orang amerika akan dianggap hal biasa, teapi bagi bangsa Indonesia perbuatan tsb dianggap sbg perilaku menyimpang yang tidak sesuai dg nilai dan norma masyarakat.
3. Konsensus: artinya sesuatu perbuatan dianggap sebagai perilaku menyimpang tergantung kepada konsensus atau perjanjian antar anggota masyarakat. Contoh: Seorang rakyat biasa yang memiliki senjata api tentu akan dianggap sebagai perilaku menyimpang, tetapi apabila anggota Polisi dan TNI memiliki senjata api akan dianggap hal yang biasa.
Menurut Kai Ericson, ”Tindakan yang dapat membuat seseorang masuk penjara mungkin dianggap sebagai tindakan yang luhur bagi pihak lain karena penilaian terhadap sebuah tindakan banyak bergantung pada keadaan dimana tindakan itu dilakukan dan reaksi dari orang yang melihat”. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan perilaku menyimpang merupakan hal yang relatif, artinya tergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Misalnya, seorang polisi menembak mati seorang residivis yang melarikan diri dan tidak pernah jera merampok, karena polisi tersebut melaksanakan tugasnya ia memperoleh penghargaan. Sebaliknya, jika pembunuhan itu dilakukan oleh seorang perampok terhadap orang yang dirampoknya, maka hukuman berat akan menanti perampok tersebut
II. Pengertian Konformitas
Dalam kehidupan masyarakat, perilaku menyimpang sering disebut perilaku anti sosial atau perilaku abnormal atau disebut juga deviasi (deviation). Sedangkan pelaku atau orang yang melakukan penyimpangan tersebut disebut devian (deviant). Selain perilaku menyimpang, dalam kehidupan masyarakat terhadap perilaku yang disebut konformitas yaitu kebalikan dari perilaku menyimpang, oleh karena itu perilaku menyimpang sering disebut juga non konformitas.
Menurut Kohn M. Shepard, konformitas adalah bentuk interaksi sosial yang didalamnya seseorang berperilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat dimana ia tinggal. Konformitas berarti proses penyesuaian diri dengan masyarakat dengan cara mentaati norma-norma dan nilai-nilai masyarakat. Konformitas biasanya melahirkan kepatuhan dan ketaatan.
III Teori – Teori Timbulnya perilaku Menyimpang
  1. Teori Pergaulan berbeda (Differential Association)
Teori ini dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland. Menurutnya, penyimpangan bersumber dari pergaulan dengan kelompok orang yang telah menyimpang. Penyimpangan diperoleh melalui proses alih budaya, melalui proses ini seseorang akan mempelajari perbuatan menyimpang dari sub budaya menyimpang.
  1. Teori Labeling (Reaksi Masyarakat)
Teori ini dikemukakan oleh Edwin M. Lemert. Menurutnya, seseorang akan berbuat menyimpang karena adanya stigma (Labeling), yaitu pemberian julukan, cap, merk, atau etiket. Selanjutnya Erving Goffman mengatakan bahwa stigma adalah penamaan yang sangat negatif kepada seseorang / kelompok. Adanya pembentukan stigma kepada seseorang atau kelompok dapat berakibat :
  1. Dapat merubah perilaku seseorang atau kelompok secara radikal mengenai konsep diri dan identitas sosial mereka dalam masyarakat.
  2. Membuat seseorang atau kelompok terabaikan dan diselisihkan secara sosial dalam masyarakat.
  3. Membuat seseorang atau kelompok menjadi sakit secara mental, sehingga mereka akan melakukan perilaku menyimpang secara terus menerus.
Misalnya seseorang mula-mula melakukan penyimpangan primer (dilakukan satu kali, misalnya mencuri). Kemudian masyarakat memberi stigma pada orang tersebut sebagai ”si pencuri”. Dengan pemberian stigma tersebut akhirnya mendorong orang tersebut untuk melakukan penyimpangan sekunder (dilakukan secara berulang-ulang, misalnya mencuri secara terus-menerus)
  1. Teori Fungsi
Teori dikemukakan oleh Emile Durkheim. Menurutnya, keseragaman dalam keadaan moral semua anggota masyarakat tidak dimungkinkan, sebab setiap individu berbeda satu dengan yang lainnya karena dipengaruhi faktor keturunan, lingkungan fisik, dan lingkungan sosial. Dengan demikian orang yang berwatak penjahat akan selalu ada dan kejahatan pun akan selalu ada. Durkheim bahkan berpandangan bahwa kejahatan perlu bagi masyarakat karena dengan adanya kejahatan maka moralitas dan hukum dapat berkembang secara normal.
Menurut Emile Durkheim, perilaku menyimpang bukanlah perilaku yang semata-mata tak normal dan melulu bersifat negatif. Perilaku menyimpang juga memiliki kontribusi positif bagi kelangsungan masyarakat secara keseluruhan, yaitu sebagai berikut :
  1. Perilaku menyimpang dapat memperkokoh nilai-nilai dan norma-norma sosial dalam masyarakat.
  2. Dapat mempertegas batas-batas moral, yaitu mana sesuatu yang dianggap baik / benar dan mana sesuatu yang dianggap buruk/salah.
  3. Akan menumbuhkan dan memperkuat persatuan dan kesatuan masyarakat.
  4. Mendorong terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat.
Pendapat Durkheim ini didukung oleh Nahman Ben Yehuda yang mengatakan bahwa timbulnya perilaku menyimpang akan mengarahkan masyarakat untuk melakukan negoisasi ulang terhadap norma-norma yang ada dan mendorong terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat.
  1. Teori Konflik
Teori ini kemukakan oleh Karl Mark. Menurutnya, perilaku menyimpang terkait erat dengan perkembangan kapitalisme. Seseorang atau perubahan dianggap sebagai perilaku menyimpang tergantung pada kekuasaan relatif dari sekelompok masyarakat. Timbulnya perilaku menyimpang terkait erat dengan praktek kekuasaan yang tidak adil. Hal ini tampak dalam ketiga hal tersebut:
  1. Norma-norma terutama norma hukum dari setiap masyarakat pada umumnya menguntungkan mereka yang kaya dan berkuasa.
  2. Jika perilaku orang kaya dan berkuasa dipersoalkan, mereka memiliki berbagai sarana untuk menolak sebutan sebagai perilaku menyimpang.
  3. Norma-norma dan hukum merupakan topeng yang sangat baik untuk menutupi berbagai perilaku curang orang-orang kaya dan berkuasa.
  1. Teori ketegangan (Strain Theory) atau Teori Jenjang Makro
Teori ini dikemukakan oleh Robert K. Merton. Menurutnya, struktur sosial tidak hanya menghasilkan perilaku yang konformis, tetapi juga perilaku menyimpang. Dalam struktur sosial terdapat dua hal yang saling berkaitan, yaitu :
  1. Tujuan Budaya, yaitu sesuatu yang pantas diraih.
  2. Cara-cara, yaitu cara yang harus di tempuh untuk mencapai tujuan.
Menurut Merton, timbulnya perilaku menyimpang karena tidak ada kesesuaian antara tujuan dengan cara-cara yang telah ditetapkan dalam struktur sosial. Selanjutnya, ia mengidentifikasi lima tipe cara adaptasi individu terhadap situasi tertentu. Empat diantara lima tipe tersebut merupakan perilaku menyimpang.
Cara-cara adaptasi tersebut adalah :
  1. Cara adaptasi konformitas (conformity)
Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang mengikuti tujuan dan cara yang telah ditetapkan masyarakat.
Contoh :
-          Tujuan yang ingin diraih     : Ingin mendapat gelar sarjana
-          Cara mencapai tujuan          : Kuliah di perguruan tinggi negeri atau swasta
  1. Cara adaptasi inovasi (innovation)
Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang mengikuti tujuan yang telah ditetapkan masyarakat, tetapi menggunakan cara-cara yang dilarang masyarakat.
Contoh
-          Tujuan yang ingin diraih     : ingin mendapat gelar sarjana
-          Cara mencapai tujuan          : Memalsu ijazah orang lain
  1. Cara adaptasi ritualisme (ritualism)
Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang meninggalkan  tujuan yang telah ditetapkan masyarakat, tetapi tetap berpegang pada cara-cara yang ditentukan masyarakat.
Contoh :
-          Tujuan yang ingin diraih     : tidak ingin mendapat gelar sarjana
-          Cara mencapai tujuan          : Kuliah di perguruan tinggi negeri atau swasta selama 4-5 tahun
  1. Cara adaptasi retreatisme (retreatism)
Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang tidak mengikuti tujuan yang ditetapkan masyarakat dan ia juga tidak mengikuti cara-cara yang ditetapkan masyarakat. Pola adaptasi ini menurut Merton dilakukan oleh orang yang mengalami sakit jiwa, gelandangan, pemabuk, dan pecandu obat bius. Orang-orang itu ada dalam masyarakat, tetapi dianggap tidak menjadi bagian masyarakat.
  1. Cara adaptasi pemberontakan (rebellion)
Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang atau masyarakat tidak mau mengakui struktur sosial yang sudah ada. Tujuan dan cara-cara yang telah ditetapkan juga tidak diakui. Kemudian mereka membentuk struktur sosial yang baru dengan memakai tujuan dan cara-cara yang baru pula.
Contoh : Peristiwa reformasi di Indonesia pada tahun 1998.
Mahasiswa tidak mau mengakui struktur sosial yang ada yaitu Orde Baru kemudian diganti dengan struktur sosial yang baru, yaitu Orde Reformasi. Tujuannya yang semula mempertahankan kepemimpinan presiden Suharto, diganti dengan tujuan menggulingkan kepemimpinan presiden Suharto. Caranya yang semula melalui MPR untuk mengangkat dan memberhentikan presiden diganti dengan cara demonstrasi untuk mengangkat dan memberhentikan presiden Suharto.
  1. Teori Biologis
Teori ini dikemukakan oleh Caesare Lambroso. Menurutnya timbulnya perilaku menyimpang karena disebabkan oleh :
  1. Adanya cacat tubuh yang diderita oleh seseorang.
Orang yang menyandang cacat fisik yang parah tidak mungkin dapat menerapkan segenap perilaku yangdiharapkan oleh masyarakat.
  1. Adanya ciri-ciri fisik tertentu yang dimiliki oleh seseorang yang umumnya berbeda dengan orang lain.
Menurut lambroso, para pelaku kejahatan umumnya memiliki ciri-ciri fisik raut muka murung/sedih, rahang dan tulang pipi menonjol keluar, bulu-bulu yang berlebihan, dan jari-jari yang luar biasa panjang. Namun sample yang digunakan Lambroso sangat sedikit, sehingga kesimpulan ini belum bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
  1. Teori Sosialisasi
Teori ini dikemukakan oleh Alert Bandura dan Richard H. Walters. Timbulnya perilaku menyimpang adalah produk dari kesalahan yang terjadi dalam proses sosialisasi. Kesalahan ini bisa sebagai hasil dari proses sosialisasi yang tidak sempurna maupun sebagai hasil proses sosialisasi nilai-nilai sub kebudayaan yang menyimpang.
  1. Teori Anomie
Teori ini dikemukakan oleh Emile Durkheim. Timbulnya perilaku menyimpang adalah konsekuensi dari perkembangan norma masyarakat yang semakin lama semakin kompleks, sehingga tidak ada lagi pedoman yang jelas yang dapat dipelajari dan dipatuhi oleh warga masyarakat sebagai dasar dalam bertindak dengan benar.
Emile Durkheim menggunakan konsep anomie untuk mendeskripsikan kondisi masyarakat tanpa norma. Timbulnya anomie karena disebebkan terjadinya kekacauan dalam masyarakat. Kondisi masyarakat tanpa norma dicirikan sebagai berikut :
  1. Hancurnya norma-norma sosial yang ada sehingga tidak ada satupun norma yang bisa dijadikan pegangan dalam hidup bermasyarakat.
  2. Tidak ada satupun norma yang bisa digunakan sebagai alat kontrol sosial dalam masyarakat.
  3. Individu-individu tidak dapat menemukan dan peranan mereka dalam masyarakat.
  4. Masyarakat tidak dapat menemukan aturan-aturan yang jelas yang membantu mengarahkan mereka.
  1. Teori Pengadilan Sosial
Teori ini dikemukakan oleh Bruce J. Cohn. Timbulnya perilaku menyimpang pada dasarnya disebabkan oleh 2 faktor, yaitu :
a)      Pengendalian dari dalam berupa penghayatan terhadap norma-norma yang berlaku.
b)      Pengendalian dari luar berupa imbalan sosial atau incentive dan sanksi bagi masyarakat yang melanggar norma-norma yang berlaku.
Untuk mencegah agar perilaku menyimpang tidak berkembang makin marak, penganut teori ini mengusulkan bahwa:
a).    Perlunya masyarakat meningkatkan rasa keterikatan dan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga dasar masyarakat, seperti, keluarga, sekolah atau lembaga keagamaan.
b).    Pemberantasan sekularisme atau kurangnya penghayatan terhadap kehidupan keagamaan.
  1. Teori Disorganisasi Sosial
Teori ini dikemukakan oleh Wiliam I. Thomas dan Florian Znaniecki. Menurut teori ini perilaku menyimpang merupakan produk dari perkembangan masyarakat yang tidak seimbang. Di dalamnya terjadi perubahan dan konflik yang berdampak pada timbulnya perilaku menyimpang.
Teori ini menekankan bahwa timbulnya perilaku menyimpang terjadi pada masyarakat yang tidak terorganisir. Masyarakat yang terorganisir adalah masyarakat yang mampu membangun kesepakatan mengenai nilai dan norma fundamental sebagai dasar tindakan bersama. Oleh karena itu teori ini lebih banyak diterapkan pada kehidupan masyarakat kita terutama kota-kota besar. Di kota-kota besar terdiri dari beraneka ragam masyarakat yang berasal dari beranekaragaman ras, suku dan agama yang memiliki nilai norma sendiri-sendiri. Pertemuan dari beranekaragaman masyarakat tersebut mengakibatkan terjadinya disorganisasi sosial (Kekacauan sosial yang akhirnya melahirkanperilaku menyimpang dan bentuk kejahatan lainnya.
  1. Teori Kontrol
Perspektif kontrol adalah perspektif yang terbatas untuk penjelasan delinkuensi dan kejahatan. Teori ini meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat, atau macetnya integrasi sosial. Kelompk-kelompok yang lemah ikatan sosialnya (misalnya kelas bawah) cenderung melanggar hukum karena merasa sedikit terikat dengan peraturan konvensional. Jika seseorang merasa dekat dengan kelompok konvensional, sedikit sekali kecenderungan menyimpang dari aturan-aturan kelompoknya. Tapi jika ada jarak sosial sebagai hasil dari putusnya ikatan, seseorang merasa lebih bebas untuk menyimpang.


Thanks buat yang baca dan sari angraini

0 comments:

Thanks for commented